09 Mei, 2009

Golput Dalam Tinjauan Hukum Islam
oleh Ust.Sudjari Dahlan

Menurut Hukum Islam memilih (mengangkat) Imam/Kepala Negara itu hukumnya Wajib Kifayah. Ini berarti orang yang tidak ikut Pemilu itu telah meninggalkan kewajiban, namun kalau kita bertolak dari ketentuan Wajib Kifayah maka konsekuensinya akan berbeda, yakni jika masih ada sekelompok orang lain yang mengerjakannya. Contohnya hukum sholat berjama’ah dan melayat jenazah, kalau masih ada orang yang mengerjakannya maka yang tidak mengerjakan gugur kewajibannya, tidak berdosa dan bebas sanksi tetapi juga bebas dari pahala.

Kalau ketentuan ini diterapkan pada kewajiban memilih Kepala Negara, maka orang yang tidak ikut Pemilu itu tidak berdosa, asalkan masih ada orang lain yang mengikutinya, sehingga pelaksanaan Pemilu itu tetap berjalan. Tetapi jika semua warga masyarakat tidak ada yang mengikuti Pemilu maka semua warga masyarakat yang menanggung dosa. Inipun sekiranya persyaratan pemimpin itu terpenuhi menurut ketentuan syara’. Dari sini timbul pertanyaan kalau, kalau hukum memilih itu wajib bolehkah umat Islam memilih calon yang tidak memenuhi syarat-syarat Syara’.

Jika Golput ini diartikan tidak mengikuti Pemilu maka persoalannya dapat dianalogikan kepada persoalan memilih Imam A’dzam (Kepala Negara). Kalau ternyata sama, maka kesimpulan hukumnya juga sama. Maka hukum Golput itu sama dengan hukum tidak ikut memilih Imam, padahal memilih itu hukumnya juga sama. Maka hukum Golput sama dengan hukum tidak ikut memilih Imam, padahal memilih itu hukumnya Fardhu Kifayah seperti diterangkan diatas. Dan ternyata Golput itu juga tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003, terbukti tidak ada sanksi pidana atas warga masyarakat yang tidak mengikuti Pemilu.

Berkaitan dengan persyaratan yang tidak terpenuhi itu dengan memperhatikan qaidah fiqhiyah yang menyatakan : Apa yang wajib/diwajibkan berdasarkan syara’ itu didahulukan atas apa yang wajib berdasarkan syarat. Kalau qaidah ini dipedomani berarti memilih Imam/Presiden itu harus didahulukan atas penetapan syarat-syaratnya, maksudnya kalau para calon yang harus dipilih itu semua tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan melainkan sebagian syarat saja maka hal ini tidak boleh membatalkan Imam/Presiden artinya Pemilu itu tetap wajib, karena pemimpin negara itu sangat diperlukan, maka bagaimanapun pemimpin itu harus ada untuk mewujudkan kemashlahatan bangsa, untuk itu kita rengkan qaidah-qaidah fiqhiyah ini :

  1. Kebutuhan yang mendesak itu menempati kedudukan darurat
  2. Kemudlaratan itu harus dihilangkan
  3. Kemudlaratan itu tidak boleh dihilangkan dengan kemudlaratan
  4. Sesungguhnya kemudlaratan yang khas/khusus itu boleh ditanggung karena menolak madlarat umum
  5. Menempuh bahaya / madlarat yang lebih ringan dari dua bahaya itu wajib
  6. Dlarurat itu membolehkan semua yang dilarang sesuatu yang diperbolehkan karena dlarurat itu hanya sekedar yang diperlukan saja
  7. Kesulitan/kesempitan itu harus itu harus dihilangkan
  8. Semua kesulitan itu akan membawa kemudahan
  9. Menolak/menghindari kehancuran itu harus didahulukan atas menarik mashlahat
  10. Yang wajib itu tidak boleh ditinggalkan kecuali karena yang wajib juga

Maka jika kita rasakan bahwa kondisi yang ada sekarang ini sama dengan yang disyaratkan oleh qaidah-qaidah diatas, kiranya tidak sulit untuk menentukan sikap terhadap Pemilu. Selanjutnya patut kita renungkan sebuah hadits : “Kelak akan datang suatu zaman yang didalamnya harus dipilih seorang (pemimpin) dari antara yang lemah dan yang banyak berma’siyat, maka barangsiapa yang mendapatkan yang demikian itu hendaklah ia memilih yang lemah daripada yang kuat tetapi banyak berbuat ma’siyat” (HR Al Hakim dari Abu Hurairah).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar